Roh
Mentari menyisahkan hawa panas yang telah menghitam dengan gumpalan awan yang beranjak pelan. Menuju peraduan yang ia sukai tuk curahkan air mata yang tak terbendung alam. Begitu juga aku yang tergolek masam, dengan sisa-sisa tenaga yang ku punya setelah bergumul dengan job-job yang ku lakoni sebagai kuli pinggul. Lain halnya dengan perasaan hatiku yang ada dalam pikiran karena hatiku menginginkan tuk segera beranjak meninggalkan tempat duduk yang mulai menyengat pantat.
Senja yang mulai menguning isyaratkan aku tuk segera pergi menuju tempat tinggal yang aku tak tahu di mana tempatnya. Jalan-jalan sempit aku lalui dengan perasaan yang tak karuan sembari berpikir. “Sampai kapan aku begini?” ucap dalam hatiku, dan akupun tak jengah dengan bau busuk selokan yang bukan main harumnya karena percampuran sampah-sampah dan limbah-limbah pabrik yang tak punya rasa kasihan. Lantas aku menata koran-koran yang tak tergunakan lagi oleh manusia-manusia kaya yang tongak, tuk alas tidur yang berharga bagiku, kemudian aku rebahkan tubuh yang agak krempeng dengan pelan-pelan, aku takut mengagetkan deretan orang yang tertidur pulas dengan iming-iming mimpi mimipi yang menambah rasa kesengsaraannya. Keinginan untuk tidur dengan pulas terhalang dengan suara dari dalam perutku yang terus berontak karena belum diberi jatah kesengsaraannya. Tapi aku tak bisa apa-apa karena aku tahu bahwa ku tak punya uang sepersenpun tuk membeli sesuap nasi. Namun, ku paksa agar dapat tidur dengan cepat walau harus menahan lapar yang tak terhingga.
Pagi menyambutku dengan sinar yang menyilaukan mata, seolah memberi isyarat padaku agar cepat bangun dan bekerja lagi. Aku pun meninggalkan keletihan yang ku junjung kemarin dan mencoba mencari kesibukan serta keletihan tubuh. Sedang asyiknya aku mengangkat barang-barang, aku berberturan dengan seorang wanita yang menyebabkan barang-barangnya jatuh tercecer di mana-mana, dengan perasaan jengkel akupun kembali memunguti barang-barangnya tadi sembari berucap.
“Kalau jalan lihat-lihat dong?”
“Maaf aku tak sengaja.” ucap gadis itu dengan terba-bata.
“Dah! Sekarang pergi sana”. ucapku menyahut.
“Sekali lagi aku minta maaf” ucapnya sambil beranjak pergi meninggalkanku.
Akupun kembali bekerja dengan biasa, seolah-olah tak terjadi sesuatu. Namun, beberapa menit setelah itu ada perasaan-perasaan yang tak menentu karena aku telah berani menuduh gadis itu bersalah, ku percepat pekerjaan yang membebaninya agar dapat mencari gadis itu untuk meminta maaf. Tak terasa barang-barangpun telah habis dan akupun cepat-cepat mencari gadis itu, ternyata tak sulit untuk mencarinya karena gadis itu sedang duduk di tempat yang sering aku tempati saat menunggu malam datang. Dengan perasaan salah yang amat besar akupun mengampiri gadis itu dan langsung duduk di sampingnya, spontan saja gadis itu kaget karena ia sedang melamun dan iapun mau beranjak pergi tuk hindariku. Namun, ia ku cegah untuk meninggalkanku. Lantas aku ngobrol panjang lebar bersamanya. Tak terasa waktu semakin menipis. Akhirnya kami putuskan untuk berpisah. Aku tahu, kalau namanya adalah Rizka.
Aku kembali menyusuri gang-gang dan jalan-jalan sempit yang tak lepas dari bau busuk selokan. Tapi, hari ini amatlah beda bagiku karena gang-gang sempit terasa luas dan bau busuk dari selokan terasa harum mengitari tubuhku walaupun aku belum mandi dari pagi, begitu juga koran-koran bekas terasa empuk dan nyaman. Aku berharap supaya malam cepat berlalu dan aku akan bertemu dengan Rizka kembali dalam kepengapan orang-orang yang mencari secuil kertas.
Malampun berlalu dan kini aku kembali bekerja, tapi tak kurasakan beban-beban yang menindih seperti hari-hari kemarin, karena aku ingin agar pekerjaan cepat selesai dan berharap bertemu dengan Rizka kembali. Job hari ini telah usai, aku memutuskan untuk menuju tempat pertama aku bergurau, aku tak sabar menunggu Rizka yang tak muncul-muncul di antara keramaian orang. Namun, keinginan untuk bertemu Rizka hilang saat aku mendengar gemuruh mobil-mobil membawa beban yang siap untuk diangkut para kuli, termasuk juga aku. Akupun bergegas menuju mobil itu dan terhanyut dengan pekerjaanku yang lupa dengan keinginan untuk bertemu Rizka.
Sengat matahari yang panas lekamkan tubuhku yang masih hitam. Membuatku tidak tahan dengan terik panas yang diberikan matahari, akupun beranjak mencari keteduhan di bawah rimbun pohon sambil mengunyah sisa-sisa makanan di sela-sela gigi.
Aku sejenak berhenti, sesekali aku mengepulkan asap rokok dari mulutku dengan diiringi batuk yang membuat sakit di bagian dada ini. Aku tak mengerti mengapa setiap batuk-batuk pasti rasa sakit yang ada dalam dada ikut juga menyertainya seolah-olah rasa sakit telah berikrar dengan batuk yang ku derita. Memang, akhir-akhir ini aku merasakan sakit di bagian dada, ingin rasa sakit yang kuderita berangsur-angsur sembuh tapi, sial rasa sakit yang kuderita tak juga sembuh malah bertambah parah sakitnya.
Dalam kesendirian di lorong-lorong sempit itu aku merasakan kerinduan yang amat besar pada Suci, aku seakan ingin berteriak lantang ”Rizka, aku rindu padamu”. Namun, aku tahu bahwa ku tak dapat melakukanya, dan walaupun aku melakukannya Rizkapun tak mungkin mendengarkannya, hanya kebekuan malamlah yang kan dengan pasti mendengar jeritan-jeritan hatiku. Sesekali aku mengatupkan mataku supaya bisa tidur. Namun naas, bayang-bayang Rizka selalu muncul dan terus menggoda, akupun kembali membuka mata seolah tak percaya dengan semua ini. Sesaat aku melamun bayang-bayang Rizka muncul lagi, aku tak tahu mengapa setiap aku memejamkan mata dan setiap melamun bayangan Rizka selalu menyertai, aku berpikir apakah ini yang dinamakan cinta. Ku buang perasaan itu jauh-jauh hingga aku akan lupa dengan gadis yang bernama Rizka.
Mata malaikat mengintip dari celah-celah sayapnya. Begitu juga aku yang terduduk lemas mengharapkan sesuatu seolah-olah aku menunggu datangnya kematian yang kan membawa rohnya pergi dari jasadnya dan meninggalkan semua, semua yang ada dalam pikirannku.
Aku bersandarkan tembok lusuh yang berdebu dekat selokan dengan lemas, pandangan mataku mulai kabur bahkan hanya bisa memandang kegelapan dan aku merasakan roh yang ada dalam diriku mulai naik dengan pelan menuju keabadian. Dengan lirih aku berucap pada malam beserta keheningannya
“Riz, aku cinta kamu”
Bersama ucap itu, nafasku mulai hilang, denyut nadi tak terdengar, dan jiwaku mulai melayang tenang menuju keabadian yang tak terusik oleh roh-roh malam. Walaupun roh yang berpijak dalam tubuhku pergi, akan tetapi, cintaku takkan musnah tertimbun roda-roda masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar