Sabtu, 26 Mei 2012

Kritik Sastra


ANALISIS KRITIK NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK KARYA AHMAD TOHARI
KAJIAN: PRAGMATIK

A.    Latar Belakang
Secara objektif sastra dapat didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan, luapan perasaan dan pikiran sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu berdasarkan teori pragmatik karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca (Abrams, 1981). Selanjutnya pengkajian sastra didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam), penelaahan. Dengan demikian pengkajian sastra diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra.
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi pendekatan pragmatis dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatis dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama, yaitu sastra. Perbedaannya pengarang merupakan objek pencipta tetapi lambat laun fungsinya mulai pudar. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu menahu tentang proses kreativitas yang diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis.
Novel sebagai salah satu genre karya sastra, di samping mempunyai sifat yang imajinatif juga berangkat dari realitas sosial. Dapat dikatakan bahwa novel merupakan cerminan dari masyarakat tertentu. Asumsi ini diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Scholes (dalam Yunus, 1985:139) yang mengatakan bahwa sastra tidak dapat melepaskan dirinya dari realitas meskipun sifatnya imajinatif.
Salah satu novel yang bercerita tentang kehidupan sosial masyarakat tertentu dapat dilihat dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC) karya Ahmad Tohari. Novel ini menggambarkan keadaan sosial masyarakat Jawa Tengah, pada salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun 70-an. Novel ini menggambarkan tentang masyarakat desa yang hidup dalam kemiskinan, kehidupan desa yang tidak lagi memberikan kedamaian, perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh aparat desa, adanya kesenjangan antara masyarakat bawah yang diwakili oleh tokoh Pambudi, Mbok Ralem, Sanis, Pak Badi dan tokoh-tokoh cerita lainnya dengan masyarakat atas yang diwakili oleh tokoh Pak Dirga sebagai kepala desa. Novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan tentang masyarakat Desa Tanggir yang sebagian bestir masyarakatnya adalah petani. Ada yang mengolah sawahnya sendiri dan sebagian lagi mengolah sawah tetangga dengan imbalan yang relatif rendah. Adanya berbagai masalah sosial yang dialami oleh masyarakat desa seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Tanggir merupakan masalah-masalah manusia yang asasi sehingga memerlukan bantuan kita semua guna mencari alternatif pemecahannya agar dapat mengembalikan kehidupan masyarakat desa sebagaimana mestinya.
Realitas sosial yang diungkapkan Tohari dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak sama dengan realitas yang terjadi pada masyarakat kita di beberapa desa pada saat ini. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Luxemburg dkk. (1986:230) bahwa “Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu”.
Dalam novel ini terdapat beberapa bagian-bagian, yaitu terdapat dua belas bagian dan satu bagian terakhir. Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji novel Di Kaki Bukit Cibalak dengan teori pragmatik.

B.     Landasan Teoretis
 kata pragmatik (prgmatics) diartikan sebagai telaah terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’ dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik (nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan (estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Pendapat bahwa seni sebagai struktur yang dilandasi ciri khasnya sebagai sign ‘tanda’ yang baru mendapat makna lewat persepsi pembaca dipelopori oleh Jan Mukarovsky dan muridnya Felix Vodicka.
Meskipun sudah dilancarkan sejak tahun tiga puluhan, pendapat ini baru dikenal pada tahun enam puluhan di Eropa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris (dari bahasa Rusia) dan sejak itulah perhatian atau penekanan teks sebagai struktur (strukturalisme) bergeser ke arah pembaca yang dilandasi antara lain oleh teori konkretisasi dari Vodicka. Konsep ini berasal dari Roman Ingarden yang menyatakan bahwa karya sastra mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan bersifat skematik-selektif, tidak pernah menciptakan gambar (dunia) yang bulat lengkap setiap membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbesttimmtheitsstellen’tempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.
Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut. Di Indonesia pendekatan ini pernah dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (pada masa Pujangga Baru) yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah yang memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw 1978). Sejumlah kasus pelanggaran oleh pemerintah dan aparatnya pada masa Orde Baru terhadap karya-karya tertentu untuk dibaca dan dipentaskan di depan masyarakat umum, misalnya beberapa puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan drama-drama Riantiarno, juga menunjukkan praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan tersebut menunjukan karya sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat. Penerapan pendekatan pragmatik misalnya memahami karya sastra dalam hubungannya dengan nilai moral, religius, dan pendidikan.
Secara umum pragmatik adalah kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman.
Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan pendekatan pragmatik adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Teeuw, 1994. Teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya sastra.
2.      Felix Vedika (Polandia), karya sastra tak ubahnya artifak (benda mati) pembacalah yang menghidupkan sebagai proses konkretisasi.
Apa yang terdapat dalam karya sastra berinteraksi dari dunia pengalaman dan pengetahuan pembaca, kemudian dikonkretkan oleh pembaca tersebut.
3.      Jause dan Iser, 1960. Interprestasi pembaca terhadap karya sastra ditentukan oleh apa yang disebut horizon penerimaan yang mempengaruhi kesan tanggapan dan penerimaan karya sastra.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberikan kesenangan dan kaidah bagi pembacanya dengan begitu pendekatan ini menggabungkan di antara unsur pelipur lara dan unsur dedaktif. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan realitas konsep keindahan dan konsep nilai dedaktif. Setiap generasi, setiap kurun tertentu diharuskan menceritakan nilai keindahan hal itu tidak berarti bahwa interprestasi hanya subjektif belaka.
Pendekatan pragmatis dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pada pembaca tertentu (Abrahams, 1976: 16). Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik, dan strukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu pembaca. Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatis memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatis memberikan manfaat pada pembaca. Penekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan implikasi karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dapat masalah-masalah yang dapat dipecah melalui pendekatan pragmatis, di antara berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori pragmatis bertumpu kepada kompetensi pembaca sebab semata-mata pembacalah yang mengevaluasi khasanah kultural bahasa.

C.    Sinopsis Novel Di Kaki Bukit Cibalak
Di sekitar Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan dengan tenaga traktor. Orang yang biasanya memburuh dengan bajak, berganti pekeerjaan. Suatu hari para warga berkumpul di balai desauntuk memilih lurah baru, ada lima orang yang mencalonkan diri menjadi lurah, namun hanya dua orang yang memilki peluang, satu diantaranya Pak Badi, karena di desa Tanggir ia mempunyai nama baik. Calon lain adalah pak Dirga, ia luwes, pandai bermain bola, pandai berjudi, dan gemar berganti istri. Ternyata keluhuran. kearifan  dan kejujuran Pak Badi tidak memberikan nasib baik. Ia kalah, karena Pak Dirga yang terpilih. Pambudi merasa kecewa karena Pak Badi yang dijagokan kalah, padahal ia ingin menjadikan koperasi yang diurusnyaakan banyak berfaedah bagi bagi segenap penduduk Tanggir.
Sebulan setelah pengangkatannya, Pak Dirga bekerja sama dengan Poyo (teman sejawat Pambudi) memulai dengan kecurangannya. Pambudi berfikir untukmencari perkerjaan lain guna menghentika Pak Dirga. Sampai pada hari berikutnya Pambudi tidak berangkat kerja dan ia telah menulis surat untuk mengundurkan diri dari kepemgurusan lumbung koperasi desa. Untuk mengisi waktunya Pambudi melakukan pekerjaan kecil. Kini, ia kuliah bekerja di surat kabar Yogya yaitu Kalawarta, yang dipimpin Pak Barkah sekaligus pemilik.  Semenjak itulah Pambudi sangat disegani dan dihormati karena kebaikan luhur budinya. Melihat kejadian itu, Pak Dirga marah dan semakin benci kepada Pambudi, ia meminta bantuan kepada Eyang Wira untuk menyingkirkan Pambudi dari Tanggir.
 Topo mengajak Pambudi untuk diperkenalkan kepada Nyonya Wibawa. Sejak itulah ia lebih mudah mengatur  waktunya. Meskipun ia sudah bekerja selama tiga bulan, namun Mulyani (anak Nyonya Wibawa) belum pernah sekalipun berbicara dengan Pambudi. Dua minggu kemdian Mulyani mendapatkan wesel karena lolos undian, semua itu karena Pambudi. Mulai saat itulah Mulyani berbicara kepada Pambudi, sehingga mereka terbiasa dan mereka saling mengenal lebih dalam.
Tiga tahun Pambudi tidak pulang ke Tanggir, tidak semua orang menyukai jalan pikirannya. Pak Camat mersa tidak enak, tetapi Bambang mendukung tulisan Pambudi di Harian Kalawarta, mereka berdebat masalah ini. Bupati menyuruh Pak Camat membantah tulisan Pambudi dan memecat lurah Tanggir karena nama Bupati dan bawahannya bias tercemar.Pak Camat mengatur siasat, ia menyuruh seseorang menggelar arena judi, nantinya Pak Dirga pasti ada. Pak Dirgapun diringkus polisi dan dicopot dari jabatannya. Pak Camat mendapat pujian dari Bupati atas prestasinya.
Pambudi ingin pulang memberi kabar baik kepada orangtuanya. Namun, terdengar kabar bahwa ayahnya telah meninggal, ia bisa menerimanya dengan ikhlas karena itu merupakan takdir Tuhan. Mulyani turut berduka dan ingin mebicarakan sesuatu yang penting tentang perasaannya kepada Pambudi. Pambudi diminta menggantikan sopir dan menemani Mulyani ke Bandung, ia menerima syarat tersebut dengan senang hati. Dalam perjalanannya ke Bandung, Mulyani malu dan rikuh kepada Pambudi.  Di tengah perjalanan Mulyani meminta Pambudi untuk berhenti, karena ada sesuatu hal ingin dibicarakan Mulyani, mereka bicara dengan serius. Teryata Mulyani memojokkan Pambudi tentang perasaannya, Pambudi tak mampu menutupi perasaannya. Mereka saling bertatapan, hati, dan jiwa mereka juga bertatatapan. Rasa cinta hanya bersedia buat bekal perkawinan.

D.    Tokoh dan Perwataakannya

  1. Pambudi : Pemuda Tanggir yang baik, sabar, ceria, suka membantu, dan bekerja keras.
  2. Pak Dirga : Lurah Tanggir yang Jahat, suka judi, suka korupsi, dan suka ganti-ganti istri.
  3. Pak Badi : Tokoh masyarakat Tanggir yang baik, ramah, dan sabar menerima kekalahan.
  4. Mulyani : Anak mantan majikan Pambudi yang baik, penyayang, pendiam, dan suka membantu.
  5. Pak Barkah : Atasan pambudi yang baik, sabar, dan suka menolong.
  6. Mbok Ralem : Warga Tanggir yang BAIK, sabar, dan jujur..
  7. Mbok Sum : Warga Tanggir baik, ramah, dan terkadang berkata yang belum pasti.
  8. Poyo : Pejabat desa yang jahat, penipu, dan korupsi.
  9. Pak Danu : Warga Tanggir yang suka pamer dan sombong.
  10. Nyonya Wibawa : mantan majikan Pambudi yang baik, tapi tidak suka kepada seseorang yang mendekati anaknya.
  11. Topo : Teman SMA Pambudi yang baik, sabar, dan membantu.
  12. Ayah Pambudi : Ayah Pambudi  baik, sabar, dan menerima apa adanya.
  13. Ibu Pambudi : Ibu Pambudi baik, sabar, dan perhatian,
  14. Pak Camat : Camat Kalijambe yang baik dan tidak suka dengan kejahatan.
  15. Bambang : Anak Pak Camat Kalijambe yang baik, berusaha keras, dan suka membantu orang.
  16. Pak Modin : Ayah Sanis dan Jirah yang baik dan ramah.
  17. Sanis : Anak Pak Modin yang baik, penyayang, dan ramah.
  18. Jirah : Anak Pak Modin Baik, ramah, dan cerewet.
  19. Eyang Wira : Dukun Desa Tanggir yang jahat, menipu,dan ingin menyelakakan orang.
  20. Bu Runtah : Istri Pak Dirga yang jahat dan bersekongkol dalam kejelekan.
  21. Bogol : Suruhan Pak Dirga yang jahat dan aingin menyelakakan orang lain.

E.     Pesan-Pesan yang Terdapat dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak
1.      Pesan Moral
a)      Jangan berkerjasama dalam kerurangan untuk keuntungan sendiri dan menyusahkan rakyat (korupsi).
…Pambudi tahu persis mengapa sejawatnya bisa memperoleh semua itu. Ia bekerha sama dengan Lurah, misalnya memperbesar angka susut guna memperoleh keuntungan berton-ton padi. Atau mereka bersekongkol dengan para tengkulak beras dalam menentukan harga jual padi lumbungkoperasi.
b)      Berbaik sangka kepada seseorang merupakan sifat yang baik akan harapan seseorang. Maka jangan berburuk sangka kepada seseorang.
Hampir semua orang menyatakan harapanya dengan bisik-bisik, malah banyak pula yang hanya dapat menyimpanya dalam hati. Tetapi seorang mucikari yang menghendaki mtebal-tebal berkata dengan lantang, “Siapa pun yang bakal menjadi lurah tanggir, bagiku sama saja. Seorang lurah adalah laki-laki dengan cucuk emas. Baik janda atau gadis, bahkan seorang ibu rumah tangga akan sulit menolak kehendak seorang laki-laki cucuk emas. Saya paling berpengalaman tentang masalah itu. Oh….”
c)      Jangan mengajak seseorang untuk berbuat curang, bahkan korupsi uang rakyat.
“Dengarlah, anak muda. Pertama-tama kukatakan kepadamu bahwa inilah kesempatan yang dapat kau ambil untuk mendapat keuntungan yang besar. Marilahkita bekerja sama. Kau tahu, uang yang di janjikan Pemerintah sebesar 2.000 rupiah untuk tiap batang kelapa yang tergusur, akan lambat datangya. Uang milik koperasi dapat kita pakai dulu untuk membayar ganti rugi kepada pemilik pohon kelapa. Kita tidak akan membayar 2.000 tiap batang, tetapi cukup 1.000 saja.
d)     Jangan menghina orang yang sedang kesulitan.Membantu seseorang yang kesulitan merupakan hal yang bijaksana, karena dapat meringankan masalah dan membuat hati seseorang senang.
“Kalau kau ingin sembuh, janganlah ada rasa takut di hatimu, sekalipun terrhadap Pak Dirga. Tentang biaya perjalanan, serahkan padaku, Nah, usahakan surat keterangan hari ini juga selagi masih pagi. Apabila Pak Dirga brertanya dari mana kau mendapat uang jalan, katakana saja sanak family telah memberikan bantuan kepadamu. Aku tidak ingin kau sebut-sebut, mengerti, Mbok?”

e)      Jangan menyepelekan dan membuang muka orang yang sedang ada keperluan.
…Bila ada pertemuandi Balai desa, Lurah selalu membuang muka dengan cara yang amat mencolok. Tetapi itu belum seberapa. Beberapa hari yang lalu ayah Pambudi pergi ke balai Desa. Ia hendak meminta surat yang diperlukan untuk mengajukan permohonan kredit bimas. Orang tua itu dibiarkan menunggu lama sekali, sedangkan Pak Dirga enak-enak saja merokok bersama Poyo…
f)       Jangan murah menyerah, harus tetap berusaha keras agar keinginan tercapai.
…Kalau menolak usul Topo, berarti aku hanya mengandalkan kemungkinan mendapat pekerjaan. Siapa pun tidak akan berani menjamin bahwa pekerjaan yang mungkin ku peroleh  nanti dapat menjadi andalan hidup yang patut, bahkan nyatanya pekerjaan itu sendiri belum kuperoleh…
g)      Jangan benci kepada seseorang, apalagi meludah.
Mulyani mencubit punggung Pambudi keras sekali. Pemuda itu meringis kesakitan. Di belakang mereka Nyonya Wibawa memandang dengan benci. “Cuh, cuh,” dia meludah. Anjing berbuat sama, “Hwuf, hwuf.”
Tetapi sekali ini Mulyani nekat. Ia tidak peduli, bahkan Mulyani menggandeng Pambudi berjalan ke luar.
h)      Jangan menolak penjelasan seseorang sebelum mendengarkan penjelasannya.
…Untuk menjumpai Pambudi di Yogya, Ba,mbang harus nmenemui orangtua pemuda itu lebih dulu. Tak disangkanya ayahPambudi terang-terangan menolak memberikan alamat anaknya. Dengan susah payah Bambang menyakinkan orangtua itu bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk terhadap Pambudi…
i)        Turut berduka cita dan melayat, ketika ada seseorang yang meninggal. Termasuk ikut membantu orang yang sedang kesusahan dan juga hidup bersosial.
Banyak orang hadir melayat kematian itu. Lurah yang baru tidak ketinggalan. Pengganti Pak dirge masih sangat muda, belum beristri, Hadi namanya. Pemuda itu berijazah STM. Menurut pandangan sekilas Hadi akan mampu membawa perbaikan di Tanggir. Ia juga sadar apa dan bagaimana pemuda Tanggir yang bernama Pambudi itu. Maka pada waktu dating melayat kematian ayah pambudi, lurah baru ituberlaku hormat terhadap tuan rumah….

2.      Pesan Religius
a)      Jangan pamer dan bangga itu merupakan perbuatan yang riya’. Apalagi barang tersebut barang curian.
…..Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil berpropoganda dengan bangga”Ya, inilah obat semprot ketiak yang sering disiarkan oleh radio dan terlevisi. Inilah barangnya. Kalian baru melihat gambarnya atau mendengar namanya saja, bukan? Tetapi aku kini telah memilikinya! Di kampong ini pastilah aku yang pertama kalimemiliki barang mahal ini.”
b)      Jangalah membusungkan dada (sombong), karena drajatnya sudah naik. Masih banyak orang di sekitar kita yang lebih rendah.
Orang-orang memandang Pak Danu dengan kagum Kuli Akiat itu itu membusungkan dadanya karena telah merasa naik drajatnya. Di hadapan orang-orang yang mengelilinginya Pak Danu menambahkan, “Seandainya kedua anak gadisku tidak menjadi babu, pasti barang ini akan menolong mereka. Akan ku semprot sekujur tubuhnya….


c)      Jangan berbicara yang belum benar terjadi, karena akan menimbulkan fitnah.
Mbok Sum memperkuat dongengnya dengan sumpah. Sebenarnya ia tidak usah berbuat demikian karena tak seorangpun dari para petani gula kelapa itu yang akan minta bukti kisah di Tanjakan Sengkala. Mereka tidak tahu apakah ada jalan yang terjal dan bernama Tanjakan  Sengkala.
d)     Dalam pemilihan suara harus adil, jujurr, dan jangan menjual suara dengan berbagai cara.
…..Banyak orang yang akan memberikan suaranya kepada calon yang disukainya  dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan. Perdagangan suara ini atap kali membuat suasana seperti dalam perang dingin. Seorang pemilih berkata dengan enaknya, “Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok seorang yang tepilih akan berubah sikap dari ramah tamah kepada semua orang menjadi acuh tak acuh siapapun….” 
e)      Jangan kita berkhianat kepada seseorang yang telah mempercayai kita.
…Maka para botoh inilah yang hamper selalu mendatangkan onar pada setiap pelaksanaan pemilihanpamong desa. Sesungguhnya para botoh itu tidak pantas mendapat kepercayaan apa pun. Mereka mau bekerja dengan satu tujuan, uang! Mereka bisa berkhianat kepada calon ysng telsh membayarnya bila ia melihat uang yang lebih banyak. Maka para botoh mempunyai pasangan yang amat cocok, para petaruh.
f)       Jangan berubah niat ketika akan menjalakan ibadah kepada Tuhan.
…Ia hendak sembahyang Jumat di surau ayah Sanis. Andai kata pahalanya nanti dikurangi, Pambudi rela. Sebab ia bukan hanya hendak beribadah semata, tetapi ia juga sengaja hendak melihat Sanis. Apa boleh buat! Dan Pambudi benar-benar melaksanakan kehendaknya.
g)      Jangan percaya kepada dukun, karena itu perbuatan musyrik dan tercela.
…Sesudah asap mengepul, Eyang Wira memanggil tamunya. Mereka berhadap-hadapan. Tamu itu duduk dengan takzim, menunduk, dan kesepuluh jarinya bersusun berkaitan. Kakek mempunyai telinga mirip milik sang Buddha itu memejamkan mata sebentar.
            “Jadi sampean hanya menginginkan oramg yang menjadi ‘kelilip’ Desa Tanggir itu menyingkir dari sana, begitu?”
            “Ya, hanya itu, Eyang.”
            “namanya?”
            “Pambudi.”
h)      Judi merupakan perbuatan yang diharamkan agama. Semua sifat jahat pasti akan mendapat balasanya.
…Pada malam kedua Pak Dirga masuk perangkap. Seseorang jaksa menangkap basah Lurah Tanggir itu sedang mengocok kartu. Memang, siapapun tahu, bukan baru sekali itu Pak Dirga bermain judi. Ia pejudi....








KRITIK SASTRA
ANALISIS KRITIK DALAM NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK
Karya Iwan Simatupang


 






Disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Kritik Sastra


Disusun Oleh :
Saiful Munir
2150408024
Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar